Saturday, 2 August 2014

Harapan di Tengah Senja

Jantungku diterpa suasana DAG DIG DUG. Sebentar lagi sejarah baru akan ku ukir. Aku akan jadi seorang novelis. Sudah setahun ini konsentrasiku kucurahkan untuk menulis novel. Novelku yang berjudul “Harapan di Tengah Senja” ku ikut sertakan dalam Sayembara penulisan novel yang diselenggarakan Dewan Kesenian Kota.

Hari yang kutunggu-tunggupun tiba. Malam puncak sayembara penulisan novel. Aku sangat antusias. Aku yakin benar kalau novel yang ku tulis dengan apik ini akan menjadi salah satu pemenang. Bagi tujuh novel yang terpilih dalam sayembara ini maka novelnya akan di terbitkan.

Malam puncak sayembara novel banyak di hadiri sastrawan terkenal, tokoh-tokoh dunia seni dan juga pejabat pemerintah. Aku duduk di barisan belakang. Pengumuman pun tiba.               

“Inilah malam penganugerahan sayembara dewan kesenian kota. Adapun pemenang-pemenang yang siap menjadi sastrawan sekaligus novelis novelis muda adalah sebagai berikut”

Aku harus cemas, jantungku memompa darah semakin cepat hingga jantungku berdetak kencang aku merasakan kekhawatiran yang sangat. Masih tak terbayang untukku kalau beberapa detik lagi aku akan menyandang titel novelis dan sastrawan. Pasti jadi sesuatu yang membanggakan.

“Novel terbaik untuk posisi ketujuh yaitu Ayat-Ayat Kesedihan karya Indrawan Wibowo, posisi ke 6 Pemimpi-Pemimpi Siang Bolong karya Andrianus Sinaga, posisi ke 5 Nova Bilang Cinta karya Dewi Rahmawati”

Aku semakin khawatir, namaku belum disebut juga. Aku memang tak memasang target juara satu juara dua, atau juara tiga, aku hanya yakin novelku akan masuk tujuh besar. Mungkin Allah akan memberi rizki yang lebih buat aku. Mungkin saja novelku jadi juara satu, dua, atau tiga. Mungkin saja kan. Tidak ada yang tidak mungkin.

Waktu pun membawaku pada pengumuman juara empat, tiga, dan dua tapi namaku tak kunjung disebut. Apa mungkin novelku yang nomor satu. Berikutnya akan ada dua ledakan besar yang mungkin terjadi, antara ledakan tangis atau ledakan kebahagiaan.

“Dan juara pertama untuk tahun ini, Novel dengan judul ‘Impian Kekasih’ karya Abullah Hariri, selamat untuk para pemenang”
Seketika itu guncangan ledakan hebat mengguncang, semua ekspektasiku mentah tak karuan. Tak kuat aku menahan genangan air mata yang ingin keluar cepat-cepat.

Bagaimana ini? Aku gagal.  Aku malu pada diriku, pada teman-teman, pada keluarga. Aku terlanjur sesumbar bahwa aku akan jadi seorang novelis bahkan aku berani bertaruh dengan teman-temanku. Tak terbayang, mereka bisa menghinaku habis-habisan. Bagaimana aku? Aku tidak bisa berbuat apa-apa.

***

Beberapa hari berlalu. Aku semakin disibukkan pekerjaan-pekerjaan yang selama ini tertunda. Mencatat beberapa pelajaran yang ketinggalan, meluangkan waktu yang banyak dengan sahabat-sahabatku dan lebih giat belajar untuk memperbaiki nilai-nilaiku yang anjlok.

Tak sedikitpun aku terpikir untuk menulis lagi atau mengevaluasi novelku yang kalah di sayembara kemarin. Aku juga tak lagi mengarang puisi dan cerita-cerita pendek yang biasanya ku pampang di mading sekolah. Ya mading sekolah yang yang biasanya menjadi teman sehari-hariku, kini ku tinggalkan jauh. Sekarang tak ada satupun tulisanku di mading sekolah. Aku sudah tidak peduli lagi, misiku sekarang adalah menormalkan kembali kehidupanku, sebelum aku dibuat gila oleh sayembara novel itu. Aku tak mau terbayang lagi soal tulisan ataupun karangan. Aku ingin membuka lembaran baru saja.

Aktivitasku sehari-hari kini adalah sekolah pulang sekolah pulang, tak ada yang lain, seperti hari ini! Memang tak ada jadwal lagi, ku susuri lorong sekolah dengan tatapan lurus. Aku seperti mendengar suara-suara yang menertawakanku, menertawakan kegagalanku. Tak ingin aku melongok ke arah kiriku, karena deretan mading-mading itu akan membuat aku mengingat luka. Tapi hati ini tidak bisa bohong, ingin sekali ku lihat mading-mading itu. Apakah kusam atau berwarna. Di tengah tanya itu langkahku terhenti, aku terdiam. saat aku terdiam,  ada rentetan kata-kata yang mengagetkan dan mencoba membiusku.

“hidup adalah sisi terberat. Hanya ada hitam dan putih. Tapi tergantung apa yang kita inginkan. Yang terpenting kita jangan berhenti. Karena ketika kita berhenti berarti kita kalah.”

Itu suara kak Billi orang yang selalu mendorongku menjadi seorang pengarang. Padahal kenapa aku mesti terpengaruh oleh dia. Dia sendiri jadi apa? Tak pernah ku lihat cerpen dan puisinya ada di majalah. Apalagi melihat buku-buku karyanya terpampang di toko buku. Dia hanya pengarang amatir.
Sebaiknya aku pergi saja tak penting juga aku meladeni dia. Dia pasti mau menghasutku lagi.

“Des.. tunggu”

Aku tak peduli, bodo amat dia mau bilang apa, aku benar-benar tak mau bicara dengannya. Aku semakin jauh dengan kak Billi. Untunglah dia tak mengejarku.

“Kekalahan adalah ketika kita berhenti, dan kamu telah benar-benar kalah” teriak kak Billi

Aku tak peduli dia mau berkata apa? Aku memang pernah berpuisi tentang kekalahan. Saat itu menurutku kekalahan adalah ketika kita berhenti berbuat sesuatu. Tapi sekarang aku tak percaya itu. Buatku kekalahan adalah hal yang paling menyakitkan apalagi kekalahan yang didasari kerja keras.

***

Setelah lari menjauh dari bayang Kak Billi, Akupun sampai di rumah. Langkah kaki yang gontai membawaku ke dalam rumah dan menemui Ibuku yang ku cintai. Ibu menatapku seolah bertanya mengapa aku tampak lesu, tapi Ibu juga tahu, aku tak ingin diberi pertanyaan apa-apa. Setelah menatapku Ibu beranjak beberapa saat lalu kembali ke hadapanku. ibu menyampaikan sebuah amplop kepadaku. amplop yang dikirim dari sebuah majalah. Ku buka amplop itu.

“YA Allah apa ini”

Aku kaget ada sehelai surat pemberitahuan dan lima lembar uang seratus ribuan. Sebuah surat yang isinya menyatakan bahwa mereka telah memuat dua cerpen yang pernah aku kirim ke majalah mereka.

Tiga bulan yang lalu, aku mengirimkan beberapa cerpenku ke sebuah majalah. Aku memang tidak berpikir cerpen-cerpen itu akan dimuat. Sungguh waktu itu aku tengah fokus-fokusnya ke sayembara novel.

Aku dilanda kerisauan sekarang, bukan karna aku merasa disogok uang ini tetapi tentang kesalahanku dalam menyikapi sebuah masalah. Aku merasa telah salah menyimpulkan sesuatu. Salah dalam menyikapi kekalahan.

Kekalahan memang adalah keberhasilan yang tertunda. Jika kita terus berusaha. Itu memang benar tak ada orang yang meraih kesuksesan dengan cara yang instan. Semuanya butuh proses.

***

Pagi-paginya aku ingin cepat-cepat sampai disekolah. Aku harus menemui seseorang. Kak Billi, untunglah dia ada. Dia tengah menata mading sekolah. Pekerjaan yang biasanya aku yang mengerjakan. Aku sangat surprise dia tetap memelihara mading yang lama tak ku urus.

“Berhenti berarti kita kalah, apa itu benar” kataku

“Benar untuk orang yang berprinsip”

“Berarti aku adalah orang yang tidak berprinsip?”

“Kamu hanya butuh jawaban”

“Jawabannya sudah ku temukan”

“Maaf jika lancang, kenapa tulisan kakak tak ada satupun yang dimuat dimajalah atau diterbitkan” Sambungku

“Aku menulis untuk bercerita Des, soal tempatnya di mana. Aku pikir gak masalah”

Terus belajar itu kuncinya. Aku memang terlalu sombong sampai-sampai tak bisa menerima kekalahan. Padahal menang kalah itu biasa. Bukan sebuah ukuran yang tepat. Aku mungkin memang pernah kalah karna berhenti . tapi aku tak boleh larut dalam kekalahan. Aku harus menang. Besok dan seterusnya tak akan kubiarkan mading ini tanpa karya-karyaku. Aku janji.

Share this

0 Comment to "Harapan di Tengah Senja"

Post a Comment