Saturday, 2 August 2014

Kasih Tertinggal di Jakarta

Bahkan di jaman secanggih ini, saat jejaring sosial mampu mencari siapapun aku tak bisa juga menemukan jejaknya.  Seorang gadis berwajah oriental yang pernah ku temui di Jakarta dalam sebuah kesempatan. Sehari saja kebersamaanku dengannya tapi seperti semusim cinta yang bernuansa. Kebersamaan dalam putaran roda waktu yang terus berjalan hingga menghentikan semuanya, menghentikan kebersamaanku dengannya. Sayang langkahku terbatas saat itu hingga tak sanggup kuantar langkahnya sampai ke peraduan. Jabat tangan pun akhirnya menjadi penanda akhir cerita kita. Tatapan yang sayu mengiringi langkahku dan langkahnya menjauhi titik yang sebelumnya kita pijak bersama. Ini adalah sebuah kenangan indah yang mungkin akan sulit tergantikan.

Selvi, sebuah nama yang sampai saat ini masih terngiang-ngiang ditelingaku. Wajah putihnya seperti cahaya rembulan yang menerangi setiap malam. senyum manisnya seperti lukisan yang membuat mata tak mampu untuk terpejam.  Tutur katanya yang lembut seperti alunan dawai yang menyulap suasana seperti pada padang panjang yang dibalut orkestra. Rambutnya yang panjang dan tergerai seperti mahkota yang menambah sempurna setiap bagian dari dirinya. Selvi, sebuah sketsa berharga tentang bagaimana intuisi berbicara dan bagaimana cinta tak berdaya.


Pada sebuah ruang di ketinggian sekian ratus meter dari permukaan tanah, aku dan dia dipertemukan. Bersama yang lain kami berbaur menjadi kumpulan-kumpulan. Dengan takdir Tuhan aku dan dia menjadi satu ruang yang lebih kecil bersama beberapa yang lain. Cerita mengalir dari mulut ke mulut. Diskusi panjang tentang perlindungan perempuan dan anak mengemuka di ruang kami. Isu tentang penjualan perempuan dan anak atau traffiking serta anak jalanan menjadi konsentrasi diskusi kami. Dari setiap ujaran yang keluar kemudian timbulah rasa kagum dari dirinya hingga dia pun memiliki perhatian khusus terhadapku. Kami memiliki ketertarikan yang sama yang belum dapat di definisikan sebagai sebuah cinta.
                “Untuk mengatasi masalah ini perlu ada peran serta masyarakat, Dalam hal ini tokoh masyarakat dalam hal ini tokoh agama memiliki peranan penting dalam mencegah tindak-tindak kekerasan pada anak maupun perempuan” sahutku dalam sebuah diskusi.

                “Lho apa hubungannya kekerasan anak dan perempuan dengan tokoh agama? Ini jelas menjadi tanggung jawab pemerintah, melalui instansi kepolisian seharusnya pemerintah bisa memberikan jaminan terhadap anak-anak dan wanita sehingga tidak menjadi korban trafficking” kata salah seorang teman yang lain.

                “Lho.. Kawan jangan salah, Tokoh agama itu merupakan salah satu tonggak dalam kontrol sosial. Dengan memberdayakan tokoh agama sebagai tonggak kontrol sosial, setidaknya dapat mengurangi tindak-tindak yang akan merujuk pada kekerasan anak dan perempuan.” Timpalku lagi.

                “Coba! Apakah anda bisa menjelaskan bagaimana caranya!” pinta teman tadi.
                “Yah seorang Tokoh agama bisa berperan aktif dalam upaya pencegahan kekerasan anak dan perempuan. Melalui ceramah ceramahnya seorang Tokoh agama dapat memberikan selipan-selipan tentang pentingnya melindungi anak dan perempuan. Karena sesungguhnya agama menyuruh kita melindungi sesama manusia terutama kaum yang lemah” jawabku.

                Suasanapun hening atas penjelasanku.. Temanku tadi yang dari kelompok lain juga tak memprotes pendapatku. Lalu ada seseorang yang menimpali.

                “Saya setuju dengan apa yang dikatakan Hasan, Kita dapat memaksimalkan peran tokoh-tokoh masyarakat dalam fungsinya sebagai kontrol sosial. Itu akan memberikan upaya pencegahan terhadap tindak kekerasan. Namun untuk penindakan, kita juga berharap pemerintah bisa bersikap tegas melalui instansi kepolisian untuk menuntaskan semua kasus yang berhubungan dengan tindak kekerasan terhadap anak dan perempuan” Jelas Selvi.

Selvi melempar senyum ke hadapku. Aku pun membalas senyumnya. Dia sungguh manis. Tapi aku salut dengan kata-katanya. Begitu lugas dan tuntas. Dia memang smart. Diskusi terus berlanjut. Segala opini dilontarkan oleh semua peserta diskusi. Semua mengemukakan gagasannya mengenai pencegahan kekerasan terhadap anak dan perempuan. Kami disini memang berbeda. Tapi kami disini untuk satu tujuan yaitu Indonesia yang lebih baik.

Pertemuan yang begitu serius dalam forum tersebut berakhir sudah, setelah kami memaparkan hasil diskusi panjang nan melelahkan. Ada sebuah rasa ketika hal itu lewat begitu saja. Ada kesedihan yang mendalam akan berakhirnya kebersamaan kami. Salam-salam bersama menjadi penanda. Sebuah salam untuk menghapus salah paham. Maklumlah dalam diskusi itu kita banyak berdebat dengan emosi dan urat nadi tapi tentu untuk tujuan yang mulia bukan kepentingan pribadi.

Pada detik berikutnya aku berhasil memperpanjang kebersamaan kami. Aku mengajaknya ke sebuah pusat berbelanjaan bersama beberapa yang lain. Saat itu aku dan dia mengenakan baju berwarna merah. Baju yang memang diberikan untuk peserta dalam kegiatan itu. Kami pun berjalan menuju tempat yang kami tuju dengan melenggang kaki. Aku berjalan berdua sementara yang lain sibuk dengan urusan masing-masing. Tangan-tanganku yang nakal dan tidak tahu diri kemudian menangkap jari-jemarinya. Kontan dia menatapku tajam. Aku pikir dia akan menamparku atau marah kepadaku. Dia malah tersenyum dan membiarkan jari jemarinya mengayun dengan jari jemariku.

                “Hari ini pendek banget ya” sahutku.

                “Iya, tidak terasa. Oya aku salut sama kamu. Kamu bisa mengeluarkan gagasan-gagasan yang tidak dimiliki orang lain” puji Selvi.

                “Kamu juga. Bahasa kamu tuh tegas dan lugas banget. Tadi kalau kamu tidak menanggapi, mungkin yang lain akan terus memperdebatkan gagasanku” sahutku lagi.

                “Enggalah.. gagasanmu memang bagus.. Aku hanya melengkapi saja” Sahut Selvi merendah.
                Dia tersenyum.. Aku diam dan melihat ke wajahnya. Ia malu.. Lalu menarik tanganku untuk berjalan lagi. Akupun mengikuti langkahnya.

Sampailah kami di sebuah pusat perbelanjaan. Kami berkeliling di tempat itu mencari cari, melihat lihat, menikmati suasana. Aku dan dia masuk ke dalam sebuah arena permainan. Kami memilih lempat bola untuk dimainkan bersama. Terus terang baru kali itu aku memainkan permainan lempar bola, apalagi bersama seorang wanita secantik dia. Sesuatu hal yang begitu menyenangkan. Aku melihat senyum lepas di wajahnya. Dia seperti sudah mengenalku beberapa waktu sebelum hari itu. Satu demi satu bola kami lempar. Beberapa bola masuk keranjang dan menghasilkan poin dan banyak pula bola bola yang meleset dari sasaran. Ditengah asyiknya kami bermain, bola terakhirpun meluncur menandai akhir dari permainan. Kami berdua menghela nafas. Mengatur nafas yang sedari tadi berpacu dengan adrenalin. Dia begitu mempesona. Ketika capek saja. Dia begitu cantik. Aku semakin mengaguminya.  

Waktu terus berlalu, sore menjelang dan itu artinya aku dan dia benar-benar harus mengakhiri kebersamaan. Akhir kebersamaan yang sebenarnya merupakan kesalahanku karna langkahku sebagai seorang lelaki terbatas waktu itu. Sebuah obrolan sebagai penanda kebersamaan mengemuka. Aku dan dia bertukar nomor telepon dan bertukar alamat email. Dengan itu kami berharap akan ada kebersamaan-kebersamaan selanjutnya.

Lalu dia mengeluarkan sesuatu dari dalam dompetnya. Ya sebuah foto dirinya ia hadiahkan untuk kebersamaan kami hari itu.
                 “Ini untuk kamu” sahutnya.

                  Aku ambil foto berukuran 2R tersebut.

                 “Makasih ya Selvi, tapi aku tak bisa kasih fotoku, ya karna tak ada foto di dalam dompetku. Hahaha” Ucapku sambil tertawa kecil.

                 “Iya ga apa-apa. Aku akan selalu ingat wajah kamu kok”

                 “Mudah-mudahan ada pertemuan selanjutnya ya” Harapku.

                 “Ya mudah-mudahan, aku juga berharap” sambungnya.

Aku sungguh terkesan. Waktu dalam kebersamaan memang harus berhenti aku menjabat tangannya dan melangkah mundur menjauhi titik yang sebelumnya kita pijak bersama. Sebuah kesedihan yang luar biasa meninggalkan dirinya tanpa sebuah kepastian dan perjanjian. Kami saling menatap dengan wajah sayu. Itulah akhir kebersamaan aku dan dia.

Beberapa saat setelah hari itu kami masih bisa berkomunikasi lewat telepon dan sms, juga lewat jejaring sosial yang saat ini sudah tidak digunakan orang lagi. Sampai akhirnya aku mengetahui satu hal bahwa ternyata aku dan dia memiliki keyakinan yang berbeda. Aku seorang muslim dan Insya Allah seorang mumin, sementara dia adalah seorang Kristiani. Sesuatu hal yang sungguh membuat gempar jiwaku. Dari kejadian tersebut aku tak pernah lagi menghubunginya, begitupun dia tak pernah menghubungiku. Sampai akhirnya aku benar-benar kehilangan jejaknya. Waktu berjalan terus dan aku sadar dia adalah sesuatu dalam hidupku yang seharusnya aku perjuangkan. Sampai saat ini aku masih merindukannya, entah dengan dia. Walaupun kebersamaanku dengannya akan terbentur dengan keyakinan. Tapi setidaknya aku ingin berusaha. Aku yakin jika aku berusaha, Tuhan akan memberikan jalan. Meskipun aku tahu, itu takkan mudah.

Share this

0 Comment to "Kasih Tertinggal di Jakarta"

Post a Comment