Sore saat langit mulai gelap karna akan ditinggal mentari pergi, aku selesai belajar di sekolah. Maka seperti anak-anak lain aku pun melangkah cepat untuk bergegas pulang. Maklum saja untuk sampai ke rumah aku harus menunggu angkutan kota. Saat sore seperti ini akan lama sekali untukku bisa mendapatkan angkot. Selain karna sore hari selalu penuh penumpang karna memang jam pulang beraktivitas. Angkot yang menuju rumahku sangat minim jumlahnya.
Sekolahku berada di depan jalan raya. Jauh ke seberang sekitar 10 meter dari sekolahku, ada sebuah jembatan. Disitulah aku bersama teman-teman lain yang searah menunggu angkot. Sekitar 10 meter dari jembatan terdapat sebuah masjid. Masjid itulah yang menolong kami saat adzan berkumandang. Waktu terus berlalu, matahari juga mulai bergerak turun. Sesekali aku melihat jam di tanganku yang terus berputar cepat seperti berlomba. Aku masih juga belum mendapatkan angkot.
“Nis..” Sapa seseorang
“Kak Fandi” sahutku
“Bareng Yuk!” ajak Kak Fandi
“Nggak Kak. Makasih”
“Oh Ya sudah, aku duluan ya” timpal Kak Fandi selanjutnya
Aku memang tidak bisa pulang dengan sembarang orang. Itu adalah amanah Kak Aisha. Selama aku masih mampu aku harus pulang sendiri naik angkot. Tidak boleh diantar lelaki, walaupun lelaki itu hanya sekedar teman sekelas. Makanya aku sering menolak ajakan teman-temanku. Kadang aku juga tak enak hati, takut dikiran sombong. Tapi bagaimana lagi, aku harus menjaga amanah Kak Aisha.
Kak Fandi adalah salah satu fasilitator di acara LDK yang diadakan di sekolah beberapa waktu yang lalu. Setelah kegiatan itu Kak Fandi sering sekali menyapaku setiap kali bertemu. Awalnya sekadar menanyakan kabar, tapi kini Kak Fandi sering mengajakku pulang di motornya. Kak Fandi baik dan selalu memotivasi. Sejak tiga hari yang lalu, Kak Fandi selalu lewat jalan ini dan mengajakku pulang. Sekalian katanya karna rumah kami searah tapi aku selalu menolak.
Gerak langkahku memang terbatas, Berbeda dengan siswa lain yang kadang sepulang sekolah bisa main, bagiku tidak. Aku tinggal bersama Kakak perempuanku yang ikut suaminya. Namanya Kak Aisha. Aku harus cepat sampai di rumah. Begitulah permintaan Kak Aisha. Jika aku terlambat sampai di rumah, aku pasti ditanyai berbagai hal. Bahkan kalau aku tidak bisa memberi alasan, Kak Aisha tidak segan-segan memarahiku. Aku bantu-bantu kakak menjaga anaknya yang juga keponakanku. Aku harus mematuhi kakakku karna disini dialah yang menjadi pengganti orang tuaku.
Sore selalu mendung, dan mendung itu selalu mengingatkanku tentang Abi. Abi adalah ayah terbaik yang aku miliki sebelum akhirnya Allah memanggil Abiku tercinta. Aku begitu sangat kehilangan sosoknya. Jika Abi masih ada, mungkin aku tak disini. Mungkin aku bersama Abi dan Umi di rumah. Di rumahku yang dulu. Tidak seperti sekarang aku harus meninggalkan Umi dan tinggal bersama kak Aisha. Aku memang hanya akan merepotkan Umi kalau tetap tinggal bersamanya. Makanya aku setuju saja ketika Kak Aisha mengajakku untuk tinggal bersamanya.
Sampai adzan magrib menggema. Aku belum juga dapat angkot, akhirnya aku beranjak ke masjid untuk menunaikan shalat magrib. Selesai shalat aku kembali menunggu angkot. Ditemani rintik-rintik hujan. Kadang aku sedikit khawatir jika menunggu angkot sampai larut malam seperti ini. Ya maklum saja karna aku wanita. Apalagi suasana sudah gelap seperti ini. Tapi aku bertawakal dan berpikir positif. Ditengah kecemasanku menunggu angkot, tiba-tiba Kak Fandi lewat dan berhenti di depanku.
“Nis.. Masih disini”
“Pulang Yuk.. Ikut aku” ajaknya
“Nggak Kak.. sebentar lagi angkotnya juga datang” jawabku
“Nisa.. sebentar lagi hujannya membesar. Daripada nanti kamu sakit. Lagipula keluargamu pasti khawatir menunggumu di rumah”
O iya, Kak Aisha pasti mengkhawatirkanku. Aku tahu, dia selalu cemas kalau aku tak cepat pulang. Aku tidak punya pilihan lain. Akhirnya aku ikut dengan Kak Fandi. Kak Fandi mengantarkanku sampai rumah tapi tentu tidak sampai depan rumah. Aku tahu kakak pasti marah besar kalau aku pulang diantar seseorang.
***
Keesokan harinya, aku dihadapkan kembali pada situasi menunggu angkot dan di saat seperti itu Kak Fandi selalu hadir dan menawariku pulang bareng. Lagi-lagi aku hanya bisa bilang Kak Fandi baik, dan karna itu aku tak bisa menolak ajakannya. Aku ambil sisi positifnya saja. Aku bisa cepat sampai rumah dan Kak Aisha tak perlu khawatir lagi karna menungguku pulang. Namun begitu jangan sampai Kak Aisha tahu kalau aku diantar seorang lelaki. Dengan begitu semua akan baik-baik saja. Aku tak perlu lagi menolak ajakan Kak Fandi. Aku tak enak hati kalau harus menolak ajakannya terus menerus.
Hari-hari berikutnya aku aku selalu pulang bersama Kak Fandi. Ya walaupun aneh. Setiap aku menunggu angkot disaat itu pula Kak Fandi selalu hadir dan mengajakku pulang. Dengan berbagai alasan mulai dari pulang kuliah, habis dari bengkel, sampai habis beli obat. Ya apapun alasannya aku berpikir positif saja dan yakin kalau Kak Fandi hanya ingin membantuku.
Suatu ketika Kak Fandi mengajakku nonton. Ya memang bukan baru kali ini saja dia mengajakku nonton. Sejak kemarin-kemarin tapi aku selalu menolaknya.
“Nis.. sekarang ada film bagus lho” buka Kak Fandi
“Oya, film apa Kak?” sambutku
“ Film Bumi Cinta, itu film reliji lho”
“Nonton Yuk” timpal kak Fandi
“Nggak Kak ah”
“Ayolah sekali ini saja!!” bujuk Kak Fandi
Sore ini aku memang membawa duplikat kunci rumah karna Kak Aisha bersama suami dan keponakanku pergi ke luar kota. Biasanya pulang larut malam. Lagi-lagi aku tak enak kalau harus menolak kembali ajakan Kak Fandi. Aku setujui ajakannya. Jadilah kita menonton film yang dibicarakan kak Fandi tadi.
Selesai nonton, Kak Fandi mengajakku makan. Aku sebenarnya ingin cepat-cepat pulang. Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 9 malam. Tapi ya sudahlah, untuk makan malam, mungkin hanya akan menghabiskan waktu setengah jam.
Seporsi Pecel ayam dan segelas teh manis hangat menjadi menu makan kami. Sambil makan Kak Fandi terus saja mengajakku mengobrol. Sampai akhirnya kami lupa waktu. Saat aku kembali melihat jam ditanganku. Aku sungguh kaget karna waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam.
“Aku mau pulang Kak” kataku ketus
“Iya sebentar lagi ya” sahut Kak Fandi
Akhirnya aku berdiri dan meninggalkan Kak Fandi.
“Nisa.. Nisa.. Tunggu”
“Aku mau pulang Kak, Kak Aisha pasti marah besar kalau tahu sampai detik ini aku masih belum pulang” jelasku
“Iya.. Iya...”
“Nis jangan menghadapi situasi seperti ini dengan kerisauan, kamu akan rugi dua kali. Pertama kamu rugi karna tidak bisa menikmati suasana saat ini dan kedua kamu rugi seandainya nanti dimarahi kakak kamu. Lebih baik kamu berpikir positif dan kita berdoa semoga semuanya baik-baik saja..”
“Ya.. Makasih”
“Untuk?”
“Sarannya”
“Aku gak mau makasihnya dengan kata-kata”
“terus?”
“Pakai sikap”
“Maksudnya”
“Tarik bibir kamu ke kiri satu senti dan ke kanan satu senti”
Aku berpikir
“Oooowwhhh” dan akupun tersenyum
***
Akupun sampai di depan rumah. Ku lihat mobil kakak iparku sudah terparkir di garasi rumah. Ini berarti kakakku sudah pulang. Suasana begitu sepi wajar saja ini sudah pukul 11 malam. Rumah tampak gelap. Semua lampu dimatikan. Biasanya bila lampu depan dimatikan, kak Aisha sudah tidur.
Akupun berjalan pelan-pelan. Aku takut kak Aisha terbangun dari tidurnya. Ku buka pintu dengan pelan-pelan lalu ku tutup dan kukunci kembali. Aku melangkah mengendap-endap dalam ruang gelap menuju pintu kamarku.
“TIK” terdengar suara stop kontak diikuti dengan menyalanya lampu.
“Annisa.. darimana kamu?”
“Kak... Kakak” kataku sambil membalik badan
“Siapa yang mengajarkanmu masuk rumah tanpa salam”
Aku diam saja. Aku tak tahu harus menjawab apa. Aku seperti maling yang ketangkap basah. Rasanya wajahku panas. Aku tak bisa menatap wajah Kak Aisha dan suaminya yang berada di samping kak Aisha.
“Jawab Nisa!” tegas Kak Aisha
“Aku..” kataku terpotong-potong
“Sudahlah Ma.. biarkan Anisa istirahat” sahut Kak Aryo suami Kak Aisha
“Biar Pa.. Anisa sudah keterlaluan”
“Ya sudah bicarakan baik-baik.. Papa ke kamar duluan ya”
Setelah kami tinggal berdua di ruang tengah, Kak Aisha menghampiriku. Ia sangat marah besar. Ia seperti merasa dikhianati, Karna aku telah melanggar kepercayaannya.
“Kamu mau buat malu kakak?”
“Kamu mau nurut sama siapa?”
Aku semakin tersudut, aku seperti dikejar-kejar dan harus berhenti karna menemukan jalan buntu. Tiba-tiba saja darahku naik ke otak. Sebuah hal yang tak seperti biasa. Tapi aku memang seperti diadili dengan tidak adil.
“Memang salah Nisa apa Kak?” kataku keras.
“Salah kamu apa?.. kamu pulang larut malam seperti ini.. apa ini bukan sebuah kesalahan?”
“Tapi Nisa...” kataku lagi gugu[
“Tapi apa? Kamu pintar melawan ya sekarang?”
Spontan Kak Aisha mengankat tangannya dan hampir saja mendaratkannya di pipiku. Namun ia urung melakukannya. Ku lihat bibirnya bergetar. Mukanya merah. Emosinya meluap-luap. Namun ia masih sadar bahwa aku adalah adiknya.
“Tampar saja Kak, Biar Kakak puas”
“Selama ini Nisa turuti semua kata kakak.. walaupun Nisa harus hidup seperti di penjara. Kakak sudah merebut kebebasan Nisa” aku memberontak.
“Kakak melakukan ini karna kakak sayang sama kamu.. Kakak ingin melindungi kamu” tegas Kak Aissha
“Melindungi Kakak bilang? Kakak malah membuat hidupku seperti di penjara” tegasku
“Nisa ingat saat Abi wafat. Abi berpesan agar kakak menjaga dan melindungi kamu.. Abi meminta kita menjaga kehormatan dan nama baik keluarga” jelas Kak Aisha.
“kalau sudah begini, Kakak gagal menjalankan amanah Abi. Kakak gagal mendidik kamu menjadi orang yang berguna seperti permintaan Abi sebelum meninggal. Abi pasti sangat sedih dan kecewa melihat ini semua” Lanjut Kak Aisha
Akupun terdiam, aku tak punya kata-kata lagi untuk membantah. Aku memang salah dan seharusnya aku menyadari bahwa ini adalah kesalahan besar.
“Abi Maafkan Nisa.. Nisa belum bisa menjadi seperti harapan Abi..” gumamku dalam hati.
Airmataku terurai mengalir mengitari bagian pipiku. Darah yang sedari tadi menggoncangkan otakku menjadi luntur oleh airmata kasih sayang. Akupun menyadari semua kekhilafanku. Aku telah melukai orang yang begitu menyayangiku. Akupun berhambur ke pelukan Kak Aisha.
“Maafkan Nissa Kak, Nissa memang salah. Nissa memang bodoh” kataku dengan tetes airmata.
“Nissa janji Kak nissa gak akan ngecewain kakak lagi. Nisa ingin bahagiakan Abi.. Nisa gak ingin Abi sedih” lanjutku.
“Iya Nis.. maafkan kakak juga ya. Kakak terlalu keras sama kamu. Tapi kakak lakukan ini semua untuk kebaikan kamu Niss” terang Kak Aisha.
“Iya Kak aku tahu, Kakak adalah Kakak sekaligus orang tuaku. Sudah sepantasnya Nisa nurut apa kata kakak.. Maafin Nisa Kak”
Dan pelukpun aku lepas.. dalam hening malam ini aku baru sadar betapa kasih Kak Aisha begitu besar untukku. Aku tak boleh mengecewakannya lagi. Akupun melewati malam dengan penuh introspeksi. Menggali setiap kesalahan dan kelalaian dan menatanya kembali untuk ku perbaiki hari esok. Esok jangan lagi ada airmata yang mengalir. Besok jangan ada kesalahan dan kelalaian yang ku perbuat. Aku harus berbuat yang terbaik Untuk Abi, Untuk Umi, Untuk Kak Aisha, dan untuk diriku sendiri
***
Sepulang sekolah aku tak menunggu angkot di tempat biasa. Aku tak ingin melakukan kesalahan lagi. Pulang bersama Kak Fandi adalah awal dari kesalahan-kesalahan yang aku lakukan. Aku menunggu di balik gerbang masjid. Aku ingin memastikan bahwa Ka Fandi sudah tidak lagi menungguku di tempat biasa aku menunggu angkot.
Beberapa menit kemudian Kak Fandi datang dan berhenti di tempat itu. Tempat biasanya aku menunggu angkot. Aku bersembunyi sambil berharap agar ia segera pergi dari tempat itu. Aku tak tega melakukan semua ini, namun Kak Aisha lebih penting dalam hidupku.
Lama sekali kak Fandi di tempat itu. Satu jam berlalu akhirnya Kak Fandi beranjak pergi karna tak juga menemukanku. Mungkin dia mengira kalau aku sudah pulang, syukurlah. Aku harus memaninkan skenario ini sampai hari-hari ke depan. Sampai Kak Fandi tak lagi mengajakku pulang.
Beberapa hari berlalu. Situasi pun menjadi normal kembali. Aku tak pernah lagi mendapati Kak Fandi lewat di hadapanku dan mengajakku pulang. Aku sangat bahagia dan bersyukur meski dalam hati kecil aku merasa kehilangan.
Suatu sore hujan meluncur deras.. sambil menunggu hujan mereda aku diam di dalam masjid. Sampai adzan berkumandang hujan tak juga reda. Ahirnya aku shalat magrib di tempat ini. Selasai shalat hujan masih menyisakan rintik-rintik. Aku pun kembali menunggu angkot di tempat biasa ditemani rintik-rintik hujan yang membasahi malam. Dan dalam sunyi itu, tiba-tiba sosok yang selama ini sudah berlalu menyapaku..
“Nisa.. pulang yuk!”
Aku kaget. Aku sungguh tak menyangka akan kembali dihadapkan dengan Kak Fandi. Aku pikir situasi sudah kembali seperti dulu
“Yuk niss, udah malam” Ajak Kak Fandi lagi.
“Nggak Kak.. aku mau menunggu angkot saja” tolakku.
Kak Fandi terus saja membujukku sampai akhirnya dia turun dari motornya dan menarik pergelangan tanganku, mengajakku menaiki motornya. Spontan aku melepaskan tangannya dari tanganku.
“Kak Fandi.. jangan pernah sentuh aku” tegasku
Kak Fandi kaget. Ia tak berpikir kalau akan mendapatkan perlakuan seperti ini dariku.
“Nissa.. Kamu kenapa?” tanya Kak Fandi.
“Ingat ya Kak.. mulai detik ini dan seterusnya, aku gak mau lihat kakak lagi, aku gak mau ketemu kakak lagi”
“Tapi Niss.. salahku apa?”
Kak Fandi menatapku bingung. Sementara aku aku tak mau melihatnya. Aku tak mau melihat matanya. Biarkan ini semua seperti ini. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Kak Fandi berdiri terpaku. Sementara tubuhku bergetar. Dalam otak dan jiwaku terjadi kemelut antara logika dan perasaan. Aku benar-benar berada dalam dilema.
Angkot yang kutunggupun datang. Aku segera melangkahkan kaki dan memasuki angkot. Aku tak sedikitpu mencoba menghiraukan Kak Fandi. Aku harus menulisa dengan tegas dalam diari otakku bahwa Kak Fandi dalam hidupku adalah sebuah kesalahan. Lagi-lagi aku melukai perasaan orang. Orang yang ku sayang. Sampai aku menjauh Kak Fandi terus menatap kearahku.. ke arah angkot yang ku tumpangi. Aku tak kuasa melihatnya.. Maafkan aku Kak.
0 Comment to "Aku, Dia, dan Angkutan Kota"
Post a Comment