Saturday, 2 August 2014

ABANG

Lagi lagi Bang Roshan, tak bosan dia membuat salah satu diantara kami menangis. Kemarin lusa Ane, kemarin Dian, dan sekarang Ina dan entah besok siapa lagi. ABang, begitu kami semua memanggilnya. Aku, Ina, Ane, Rima, Eka, dan Dian mengangkatnya sebagai kakak bersama. Hal ini bukan kebetulan memang tapi ada beberapa penyebab yang membuat semua harus seperti itu. Sebetulnya Bang Rhosan adalah teman sekelas kami. Namun karena usianya lebih tua dari kami maka dari itu kami memanggilnya ABang.
Ina adalah sosok yang paling pendiam diantara kami semua, namun Ina memiliki sensitivitas, untuk itu perasaanya mudah sekali terluka.
                “Kenapa In, di bentak lagi?” Tanyaku
Ina terus menitikan airmata, aku usap pundaknya dan seketika ia berhambur ke pelukanku. Selang berapa lama Ane, Eka, Rima, dan Dian menghampiri kami yang tengah ada di Bundaran taman kampus.
                “Bang Roshan lagi ya Ren” celetuk Rima
                 Aku hanya tersenyum lirih mengiyakan.
                 “Kenapa sih selalu orang itu yang menimbulkan masalah?” sahut eka ketus
                 “Heii, tidak boleh begitu. Bagaimanapun dia adalah ABang kita”. Kataku mengimBangi
                 “ABang macam apa yang selalu membuat adenya menangis? Sambung Eka
                 “Iya aku setuju tuh. Lagian menurut silsilah dia itu bukan ABang beneran kita kali” sahut Rima menimpali.

                 “Iya bisanya menasehati, seperti dia paling benar diantara kita, dan kita selalu salah”. Tutur Ane menambahkan.
                 “Iya aku juga masih sebel sama dia, masa aku gak boleh sedih karna pacarku gak ingat ulang tahunku, masa dia bilang itu masalah sepele. Bukan menghibur malah membuat perasaanku semakin sakit dan kecewa “Sahut Dian.
                 “Apalagi sama aku dia lebih parah. Masa dia melarang aku pergi ke puncak malam-malam, padahal terserah aku dong mau main kemana dan sama siapa. Mamaku aja gak pernah melarang-larang aku kok”. Tambah Rima
                 “Udah In gak usah sedih. Ada kita disini”. Sahut Eka.
                 “Sekarang udah aja, gak ada istilah ABang untuk Roshan. Lagian apa untungnya coba buat kita. Gak ada kan?. Tanpa dia juga kita biasa-biasa saja gak ada pengaruh apa apa. Kita tetap bisa menjaga diri” Tutur Ane
                “Ya aku setuju Ne, sudah waktunya kita semua bebas dari yang namanya Roshan itu”. Timpal Rima.
                 “Kok kalian bisa bicara seperti itu”. Kataku pendek.
                “Ren, apa untungnya sih kita angkat dia sebagai ABang kita. Cuma bikin repot aja kan. Hanya bikin masalah-masalah baru”. Balas Ane.
                 Lalu seketika semua teman-teman menyetujui. Ini seperti sebuah deklarasi. Namun aku masih sedikit bingung. Aku tidak begitu yakin ini adalah keputusan yang baik. Tapi ya sudah aku hanya bisa mengiyakan dan mengikuti apa yang diinginkan teman-teman.

                                                                                            ***

                 Sehari setelah deklarasi itu, Semua berubah 180 derajat. Kami yang biasanya menyalami Roshan saat masuk kelas kini tidak lagi. Teman-teman sama sekali tidak ingin berkomunikasi dengan Roshan. Roshan mungkin tidak menyadari perubahan teman-teman. Mungkin Roshan pikir kami hanya marah biasa saja kepada dia seperti yang biasa kami lakukan kemarin-kemarin. Padahal kali ini semua berbeda. Ini adalah akhir.
                 Lama lama Roshan menyadari sebuah keganjilan. Akhirnya dia berusaha mencari-cari dan berupaya untuk mendekati kami. Namun gagal. Dia sudah berusaha mendekati kami dengan mengajak nonton bareng, belajar bersama, sampai makan bareng. Namun sayang hal itu tidak bisa mematahkan keyakinan kami untuk memutuskan hubungan dengan Roshan.
                 Sampai akhirnya ketika di Kantin kami sedang makan dia menghampiri kami. Dengan gaya sok akrabnya dia menghampiri kami.
                 “Hei.. makan kok gak ngajak-ngajak”. Cetus Roshan.
                 Tak ada teman-teman yang menanggapi. Tapi dia tidak berputus asa. Dia coba mengganggu kami dengan ikut memakan makanan yang sedang dimakan oleh Eka. Kontan Eka marah. Ia melempar makanannya ke arah Roshan. Kami semua tersentak. Begitupun Roshan ia begitu kaget. Sepertinya ia tak pernah membayangkan akan mendapat perlakuan seperti itu. Kemeja Roshan kotor terkena tumpahan makanan yang dilempar oleh Eka.
                 “Kalian kenapa? Aku punya salah apa?”
                   Begitulah Roshan selalu merasa tidak mempunyai salah. Padahal bila dihitung-hitung kesalahannya sudah lebih dari seratus daftar.
                 Eka berdiri dan bergegas ke kasir untuk membayar makanan. Kami juga turut berdiri dan meninggalkan Roshan di meja makan. Roshan hanya bisa menatap kami dengan tatapan sendu. Terus terang saja aku tidak sampai hati berbuat seperti ini.

                                                                                            ***

                 Setelah kejadian di kantin itu. Roshan sudah mengerti apa yang kami inginkan. Untuk itu dia tidak pernah mengganggu kami lagi. Tidak pernah menyapa kami di kelas, tidak pernah mengajak makan bersama di kantin apalagi mengajak nonton bareng. Komunikasi kami mati total. Semua teman-teman senang dengan hal ini. Mereka seperti sudah mendapatkan kebebasan yang selama ini mereka mimpikan.
                Kini tak ada lagi yang menangis. Kami semua sudah menemukan kebebasan. Ane tak lagi kesal karena selalu mendapat nasihat, Dian tak lagi sakit hati karena masalah cintanya dianggap sepele, dan Rima bebas mau kemana saja dan dengan siapa saja tanpa ada yang melarang. Begitupun Ina, Eka, dan juga aku merasakan hal yang sama yaitu sebuah kebebasan.
                Akhir pekan ini kami harus menyelesaikan proposal program. Proposal ini dibuat untuk mengajukan kerjasama pada sebuah perusahaan. Kami akan mengadakan studi praktek ke sebuah prusahaan. Namun kami kebingungan. Selain tidak ada laptop yang bisa digunakan. Teman-teman ternyata memiliki acara masing-masing.
                “Ya udah Eka, kamu boleh pulang. Tapi kita pinjem laptopnya ya untuk ngerjain proposal ini” sahutku.
                “Ih gak bisa Ren. Aku mau ngerjain tugas”. Balas Eka
                “Trus gimana dong, laptop punya Ina rusak. Banyak virusnya. Laptopku kan batrenya dah soak” kataku lagi
                “Ya sudah sih. Kalian ngerjainnya di warnet aja”
                “Ya kan kalau di warnet kita harus bayar. Kalau ngetiknya di laptop kan nanti di warnet tinggal ngeprint aja jadi lebih murah”
                “Mmhh..  coba disini ada Bang Roshan ya. Jadi ada yang bantuin kita” kataku spontan.
                “Plis deh Ren. Jangan sebut-sebut lagi nama itu”. Sentak Eka.
                “Iya ni Rena. Kita kan sudah sepakat untuk menghapus nama itu dari hidup kita”. Timpal Ane.
                Lalu suasana menjadi hening, aku, Ina, Ane bingung mencari solusi. Eka seperti sedang kesal dengan sesutu, mungkin kesal karna aku menyebut nama Roshan. Sementara Dian dan Rima asyik ber-SMS-an dengan pacarnya masing masing.
                “Eh teman-teman aku pulang duluan ya. Pacarku dah di depan lagian rumahku kan jauh. Jadi maaf ya gak bisa bantu kalian”. Cetus Dian.
                “Aku juga ya, aku ada acara sama teman-temanku di puncak. Maaf ya gak bisa bantu juga”. Sahut Rima menimpali.
                Dian dan Rima pun beranjak. Padahal kami belum mengiyakan. Disusul dengan Eka yang pergi meninggalkan kami dengan wajah ketus. Sepertinya dia tengah memiliki masalah.
                Ya sudah akhirnya mau tidak mau kami mengerjakan pekerjaan ini di warnet. Mungkin akan menguras banyak biaya. Tapi ya sudahlah tidak ada jalan lain.

                                                                                            ***
                Malam tiba, sekitar pukul 9 malam. Ponselku berdering. Sebuah pesan singkat dari nomor Rima masuk ke ponselku. Lalu aku membuka pesan singkat tersebut.
               “Teman-teman tolongin aku, aku lagi di kantor Polisi sekarang”
                Aku pun segera menelpon Rima untuk mengetahui secara detil bagaimana ia berada di kantor polisi. Pada menit-menit berikutnya aku menghubungi teman-teman yang lain untuk bersama-sama menemui Rima di kantor Polisi. Rupanya Rima terkena razia saat dilakukan sidak disebuah vila di kawasan Puncak Bogor. Memang akhir-akhir ini sedang dilakukan razia besar-besaran bagi pengguna narkoba. Meskipun begitu aku yakin Rima tidak mungkin menggunakan Narkoba.
                Aku dan teman-teman yang lain kemudian berangkat ke kantor polisi untuk menyusul Rima. Kasihan dia. Dia sendirian disana. Sementara teman yang membawanya ke Puncak kabur saat penggeledahan. Tak berapa lama kami sampai di kantor polisi.
                Sesampai di kantor polisi kami mendapati Rima tengah menangis di sebuah Bangku yang terletak di depan pintu kantor polisi. Kami lalu mendekati dan memeluknya erat-erat. Dia menangis tak kuasa. Kami merasakan kesedihan yang mendalam.
                “Ayo Rim, kita pulang” kataku
                “Tunggu sebentar, aku sedang menunggu seseorang di dalam”
                “Siapa Rim”
                “Dia yang menolongku”
Lalu sesosok pria yang tak asing keluar dari pintu. Ia berjalan pelan. Sempat menengok ke arah kami sejenak lalu meneruskan langkahnya.
                “Bang......” cetus kami sepontan.
Lalu sosok pria yang tak lain adalah Bang Roshan itu membalikkan badan dan menatap ke arah kami.
                “Kalian cepat pulang, malam sudah larut” Sahut Bang Roshan.
                Bang Roshan kembali membalikkan badan dan melanjutkan langkah kakinya.
                Malam ini Bang Roshan sudah membuka mata kami semua tentang arti keluarga. Memang tak ada ikatan darah. Tapi ikatan batin kami kuat. Entah bagimana, Bang Roshan malam ini sudah menyelamatkan Rima, setidaknya Rima bisa pulang karena Bang Roshan sudah menjadikan dirinya sebagai jaminan. Ternyata selama ini Bang Roshan tidak menutup matanya. Hanya kami yang pura-pura buta soal ini.

                                                                                                ***

                   Hari-hari berikutnya kami menyadari dengan sangat soal kekeliruan ini. Setelah kejadian malam itu ternyata Bang Roshan tidak serta merta bersikap akrab terhadap kami. Ia masih mendiamkan kami. Tak menyapa, mengajak makan bersama di kantin, atau belajar bareng. Mungkin Bang Roshan masih memegang kata-kata kami. Kata-kata kami yang tidak ingin lagi diganggu oleh kehadirannya.
                    Soal ini kami harus berusaha. Bagaimanapun kami menyadari apa yang selama ini kami lakukan itu adalah kekeliruan. Penilaian kami soal daftar kesalahan Bang Roshan tidak kami imBangi dengan kebaikan yang pernah dibuatnya. Maka kami menyusun sebuah rencana untuk membuka komunikasi kembali dengan Bang Roshan. Beruntung, kami dibantu oleh Johan dan Dedi. Johan dan Dedi adalah sahabat baik Bang Roshan. Dengan memanfaatkan kelemahan Bang Roshan (pelupa Red) kami menyusun apik rencana ini.
                     Suatu siang di kantin kampus kala Bang Roshan tengah makan siang, kami semua menghampiri meja tempat Bang Roshan makan. Bang Roshan tengah melahap empe empe kegemarannya. Kami lalu duduk tanpa sepatah kata. Bang Roshan menatap kami dengan segumpal empe empe yang masih dikunyah dimulutnya. Ia lalu mengangkat tasnya dan membawa makanannya ke meja yang lain. Kami semua tidak mencegahnya untuk pindah tempat. Beberapa menit kemudian Bang Roshan tampak selesai makan. Ia membereskan tasnya dan meraba kantong celananya untuk mengambil dompet. Ada sesuatu hal yang ganjil karena ternyata dompet Bang Roshan tidak ada di saku celananya. Ia mulai mencari-cari di semua titik baju dan celananya namun dompetnya masih tidak ditemukan. Begitupun di dalam tasnya, ia mencari-cari tapi tidak menemukan. Ia mulai panik, ia membayangkan akan mendapat bom suara dari pemilik kantin yang terkenal galak itu. Kamu semua hanya tersenyum-senyum kecil menahan tawa.
                       Lalu perlahan ia menengok ke arah kami dengan wajah memerah. Kami pura-pura tidak melihatnya. Ia tampak ragu-ragu namun akhirnya Bang Roshan melangkah pelan-pelan, melangkah ke arah meja kami.
                      “Mmhh... dompetku hilang, ponselku juga hilang. Ren aku bisa pinjam uang dulu tidak buat bayar makan, nanti besok aku ganti” Sahut Bang Roshan.
                       Aku diam saja ia pura-pura tak peduli.
                       “Na.. aku bisa pinjam uang kamu”
                       Ina juga diam saja. Sungguh kami semua tidak tega melakukan ini. Ingin rasanya tertawa lepas untuk situasi konyol ini.
                       “Ine, Eka, Dian, Rima, kalian bisa pinjamkan aku uang”
                       Kami masih diam. Lalu......
                       “Iya Abaaangggg” sahut kami semua disambung dengan tawa yang sangat lebar.
                       “Hahahahahaha” Tawa kami.
                       “kalian menertawakan apa. Memang ada yang lucu” sahut Bang Roshan
                       “Nggak. Aya ABang duduk disini. Makan lagi sama kami” cetusku
                       Bang Roshanpun duduk, lalu sesuai rekomendasi kami ia memesan kembali makanan yaitu empe empe kegemarannya. Ia memang tampak masih lapar. Lalu keluarga kami akhirnya bersatu kembali dalam tawa bahagia. Untuk yang satu ini kami harus berterima kasih pada Johan dan Dedi yang telah berhasil menyembunyikan Dompet dan Ponsel Bang Roshan. Suatu saat kami akan cerita soal kekonyolan ini sama Bang Roshan, tapi tidak dalam waktu dekat. Takut dia marah. Hihi...

Share this

1 Response to "ABANG"

  1. Mengingatkan saat masa pencarian jati diri dan juga perjuangan hidup untuk sampai di titik ini...
    #autolebay...😅

    ReplyDelete