Saturday, 2 August 2014

Sebuah Jawaban di Angkutan Kota

Masih sejak langit berwarna berwarna gelap, aku tak pernah berani melangkahkan kaki. Aku yang pernah terserang hujan bahkan badai yang memporak-porandakan hati dan perasaanku. Terlalu larut dalam kemuraman berkepanjangan. Hati yang luka ini tak pernah tersentuh atau tersiram air kasih sayang. Aku hanya berfikir cinta itu selalu melukai hati. Aku tak pernah siap untuk cinta.

Dan gelap itu memunculkan keraguanku untuk berjalan lebih jauh. Aku memang paranoid. Aku mengalami ketakutan yang teramat dalam. Cinta membuat aku seperti ini semenjak kekasih yang paling aku cintai pergi begitu saja dari hidupku tanpa meninggalkan alasan, penjelasan, dan jejak-jejak kata yang bisa ku telusuri dimana ujungnya.
”Nin... aku pulang duluan ya” kata temanku yang beberapa menit bersamaku setelah keluar dari kelas.
”Iya.. Aku nanti belakangan aja pulangnya.. kalau langit tak mendung lagi” kataku memberi alasan.
”O.. ya dah kamu hati-hati ya”
”kamu juga.. langsung pulang jangan ngelayab... hahaha” gurauku kepada Mita temanku itu

Aku tak tak tahu langkah kakiku seperti tertahan disini. Sumpah aku malas pulang. Bukan saja soal mendung. Aku memang selalu dilanda keraguan dan kemalasan. Aku memang terpuruk dengan jiwa yang kosong ini. Tak ada orang yang memberiku semangat, tak ada orang yang membuatku berarti lebih. Aku memang benar-benar terpuruk.

Life Must Go On. Aku tak mungkin tertahan disini terus. Aku takkan sampai kemanapun. Aku mungkin sudah tertinggal kereta kencana yang menuju ke mimpi hidupku kelak. Aku harus berani melangkah maju. Aku tak mau disini tanpa kepastian.

Berbekal secuil keberanian untuk menantang hujan, aku pun melangkah maju dalam langkah kesendirian. Tak ada teman-temanku lagi. Mereka sudah lebih dulu maju dan menantang hujan. Sementara aku, aku tak berani aku trauma dengan gelap aku trauma dengan hujang, aku trauma dengan air mata. Aku trauma dengan tangisan, buat ku hujan artinya langit menangis. Entah dia menangisi siapa, mungkin menangisi kita yang mulai kehilangan kasih sayang sesama.

Akupun berdiri tegak diatas trotoar yang terletak didepan sekolahku. Disini aku akan menunggu kendaraan umum. Kendaraan umum warna hijau, orang lebih senang menyebutnya Angkot, ya Angkutan Kota.

Jam pulang sekolah seperti ini biasanya angkot-angkot penuh dengan penumpang, penumpangnya ya anak sekolah seperti aku ini. Kadang harus berdesak-desakan pula. Karna tak mungkin aku menunggu angkot kosong yang akan membawa aku pulang bak putri raja. Atau menunggu mobil mewah yang secara ajaib mampir di depanku dan mengajakku pulang. Oh tidak! Aku terlalu banyak berkhayal dan terlalu jauh aku memimpikan hal bodoh.

Tidak sampai setengah jam, sebuah angkot yang kelihatannya masih cukup kosong untuk ditumpangi mampir dihadapanku. Segera aku langkahkan kaki. Namun langkah kaki ku terhenti tepat di pintu masuk penumpang. Aku lihat tak ada tempat kosong untuk aku tempati. Aku urungkan niatku mundur beberapa langkah dari angkot tapi tak begitu jauh. Aku lihat angkotnya tak cepat pergi walaupun aku memutuskan tidak jadi naik angkot itu.

Kulihat didepan masih kosong. Mungkin supirnya menawarkan aku untuk didepan. Tapi entah kenapa dia tidak bilang dan mempersilahkan aku duduk didepan. Aku pun melangkahkan kakiku maju lagi. Aku membuka pintu depan dan duduk tepat di sebelah sang sopir Angkot.
”Maju bang” kataku kepada sopir angkot itu
Tapi tetap saja sopir angkot itu tak menginjak gasnya dan menjalankan mobilnya. Lalu tanpa sengaja aku menengok ke sang sopir.
”BRUUUKKKK!!!!”......

Langit seperti runtuh begitu aku melihat wajah si sopir angkot yang berada di sebelahku itu. Detak Jantungku menunjukkan ritme yang tinggi. Emosiku meluap seketika. Air mataku tiba-tiba saja berkumpul dikelopak mata. Aku tak kuat lagi menahan airmata, aku tak kuat lagi menahan kepedihan yang kembali terusik. Aku tak bisa menahan kekecewaan yang selama ini aku coba kubur dalam-dalam. Sumpah, jika diberi pilihan aku memilih mundur beberapa menit lagi dan berharap tak bertemu dengannya.

Tanpa pikir panjang aku pun membuka pintu, aku ingin keluar saja dan mencari angkot yang lain aku tak mau disini. Namun dia si sopir itu menggenggam tanganku erat. Aku tak berdaya, aku tak bisa berkutik.
”Nina.. Kamu jangan pergi.. Nanti aku jelaskan” kata sopir angkot yang mengurai kembali air mataku.

Sopir angkot itu adalah Fadli, dia yang meninggalkan luka yang begitu dalam di hidupku. Dia yang meninggalkanku tanpa sebab dan alasan. Dia yang meninggalkanku tanpa jejak-jejak langkah. Dia yang selama ini menumbuhkan traumaku terhadap hujan dan gelap. Dia yang memutuskan aku di tengah langit mendung dan guyuran hujan yang begitu besar.

Mobil angkotpun melaju, aku tak pernah berpikir dan berencana untuk menemukan situasi seperti ini. Buat ku ini mimpi buruk di siang bolong. Ini mimpi yang setiap malam aku hindari. Ini mimpi yang tak pernah aku cita-citakan. Bertemu dengannya lagi hanya akan menguraikan kembali luka lama yang coba aku sembuhkan selama ini.
”Gimana kabar kamu?” tanya Fadli
Aku masih diam saja, aku memang tak mau mendengarkan kata-katanya. Menyakitkan buat ku.
”Inilah aku sekarang, inilah sebab aku meninggalkanmu, aku tak mau mengajakkmu dalam kesulitan hidup yang aku alami”

Sepanjang jalan dia menguraikan kisah hidupnya dari seorang anak sekolahan sampai akhinya harus jadi supir angkot seperti ini. Dia menceritakan tentang kepedihan hidupnya. Dia bilang hidupnya berubah total semenjak ibunya sakit parah.
Aku berusaha tidak percaya dengan apa yang diceritakannya. Aku mencoba menutup repat-rapat hatiku untuk iba padanya. Meskipun terbesit dalam perasaanku yang mengatakan bahwa apa yang dia katakan adalah benar adanya....

Share this

0 Comment to "Sebuah Jawaban di Angkutan Kota"

Post a Comment