Saturday, 2 August 2014

Kasih Sayang Buat Ulfa..

Daun yang berwarna terang oleh sinar matahari menemani kesendirianku. Beginilah aku selalu merasa sendiri bersama suara-suara yang bergemuruh ditengah gelombang udara. Aku selalu sendiri ditengah muram yang selalu menghiasi bagian-bagian mukaku. Aku adalah makhluk planet seperti pluto yang pernah ada dulu.

Sebenarnya akuini siapa? Mengapa tak ada orang yang menganggap kepedihanku. Aku seperti angka nol, aku seperti kosong tak terlihat oleh siapa-siapa. Oleh mama, oleh papa, oleh kakak, oleh sahabat, aku tak terlihat oleh siapa-siapa. HAHHHH... Apa benar aku tak berarti dan tak berguna?. Lalu untuk apa aku lahir kedunia. Bukankah tuhan menciptakan manusia dengan kegunaannya?. Berarti aku bergunakan?. Tapi mengapa orang-orang disekitarku tak menganggapku, tak menganggap kepedihanku sehingga setiap keluh kesahku adalah gurauan belaka.

TUNGGU!!.. Sebenarnya tak separah itu kok, ini hanya soal papa dan mama yang tak peduli kepadaku. Mereka hanya sibuk dengan rutinitas sehari-hari mereka. Sedang aku, aku tak lebih dari patung yang ketika mereka berlalu lalang aku diacuhkan begitu saja. Tuhan kenapa aku dilahirkan dari orang-orang yang tak peduli tentang hidupku?.

Ya sudah. Lagipula selama ini aku sudah berusaha mengambil hati untuk mendapatkan perhatian mereka. Membantu mama jika mama memasak masakan khusus buat papa. Belajar terus menerus sampai juara kelas supaya papa bangga. Meski tetap saja itu semua tak bisa memalingkan wajah mereka kehadapanku. Itu semua hanya bisa mencuri perhatian mereka beberapa menit saja.

Daun-daunpun tampak redup, matahari menggeser langkahnya kehadapan awan. Awan pun menggumpal menutup langit dan menyembunyikan matahari. Aku masih duduk saja, aku tak takut disambangi hujan karna jauh didalam jiwaku tengah ada hujan badai yang memporak-porandakan perasaanku. Sebetulnya aku tak sendirian juga. Aku punya seorang teman. Namanya Kak Shadil. Aku panggil kakak karna dia memang seperti kakakku sendiri. Aku biasanya bercerita pada Kak Shadil tentang kesedihanku. Tapi hari ini kak Shadil pasti lagi sibuk di sanggarnya. Maklum Kak Shadil mengelola sebuah Sanggar sederhana. Cita-citanya ia ingin mengembangkan potensi yang dimiliki anak-anak. Salah satu caranya ya dengan mendirikan sanggar itu.

Aku sering ke sanggarnya, main bersama anak-anak. Dengan begitu bisa mengurangi sedikit kesedihanku. Tapi untuk hari ini aku tak berani kesana. Takut mengganggu persiapan mereka karna sebentar lagi mereka akan mengadakan pementasan disalah satu acara pemerintah. Lalu aku harus bagaimana?. Kira-kira kemana sebaiknya aku melangkahkan kaki.

Kak Shadil adalah pendengar cerita yang baik, ya meskipun dia selalu menyebalkan setiap kali aku cerita. Tau gak? Dia gak pernah membela aku bila aku ada masalah. Seperti sekarang, saat aku punya masalah sama papa dan mama. Kak Shadil malah belain papa dan mama. Jadi sebel kan aku, cape-cape cerita Cuma dapat nasehat. Aku cerita sama Kak Shadil soal masalah ini beberapa hari yang lalu disanggarnya. Kebetulan waktu itu Kak Shadil tidak terlalu sibuk. Jadi aku berani mengganggunya. Bila sedang istirahat kak Shadil gak diam ada saja yang dikerjakannya. Seperti saat itu, masa dia mau dengerin cerita aku sambil ngetik dikomputer. Apa dia bisa paham cerita aku.
                “Kak, tes DNA itu biayanya berapa kak?”. Celetukku membuka pembicaraan.
                “Istighfar Ulfa..”
                “Ih si Kakak, memangnya aku habis ngelakuin dosa apa?. Protesku.
                “Jangan kamu pikir kakak gak tau maksud kamu ya, Anak aneh”.
                “Hehe..”
                “Lagipula tes DNA itu besar biayanya, 7 jutaan.. kamu sanggup?.   
                “O Ow.. semahal itu kak?
                “Ya semahal itu yang jelas lebih mahal tuh dari harga kerupuk”
                “Ih biasa aja kali kak”

Kak Shadil.. Kak Shadil.. dia ngomong ma aku tapi mata ke komputer, aku disini kak. Lihat ke aku dong, gumamku dalam hati. Tak lama Kak Shadilpun berhenti mengetik. Enah karena dia kehabisan ide atau karena pegal aku tak tau. Dia kemudian membalikan badannya ke arahku.
                “Lagi pula untuk apa Ulfa, terlalu berlebihan kamu” sahut Kak Shadil
                “Abisnya, aku ragu. Aku anak papa dan mama apa bukan?, mama malah pernah bilang kaya gini. Aku kan nanya ya ke mama. Ma kok wajah aku gak mirip mama sih?. Tanya aku. Nah apa coba jawab mama. Kamu kan memang bukan anak mama Ulfa. Jadi waktu kecil mama dan papa nemu kamu di taman deket rumah, karna kasihan mama dan papa bawa kamu pulang kerumah ini deh. Hahahaha, mama ketawa deh lebar-lebar”.
                “itu mama kamu bercanda Ulfa”.
                “Nggak Kakak, justru semenjak mama cerita aku jadi percaya kalau aku memang bukan anak papa dan mama. Buktinya aku gak dianggap sama mereka”
                “Gak dianggap seperti apa sih Fa”
                “Ya gak dianggap, gak ngasih perhatian, kasih sayang, gak pernah manja-manjain”
                “Memang kamu inginnya dimanja?”.
                “Nggak juga”.

Kami diam sejenak, Kak Shadil lalu memalingkan wajah dan badannya dari hadapanku dan kembali melanjutkan ketikannya.
                “Cara orang tua mengungkapkan kasih sayangnya, itu berbeda-beda Ulfa”
                “Misalnya?”
                “Ada orang tua yang mengungkapkan rasa sayang dengan cara memberikan perhatian penuh dan memanjakannya. Ada orang tua yang mendidik anaknya dengan keras sebagai cara mereka mengungkapkan kasih sayang”.
                “Nah kalau papa dan mama aku termasuk yang mana?”
                “Ya kakak gak tau, kamu yang bisa menilainya senidiri. Kamu kan anaknya.
                “Ah jawabannya gak memuaskan, penuh dengan keragu-raguan”.
                “Fa, temukan dirimu, disitu kamu akan menemukan kebahagaiaan”

Itu saja yang selalu dikatakan kak Shadil, temukan dirimu, disitu kamu akan menemukan kebahagaiaan. Maksudnya apa coba. Memangnya diriku ini cewek apakah? Hahaha... jadi ngelantur. Huhhh.. dia memang menyebalkan.  Bukannya membela aku tapi malah membela papa dan mama. Kemana lagi aku harus mengadu.

                                                                                                          ***
Malam ini aku tak akan pulang kerumah, biar saja orang-orang serumah pada sibuk nyariin. Tapi belum tentu juga. Bisa saja mereka menganggap aku lagi ada kegiatan disekolah. Akukan sering nginep di luar karna kegiatan sekolah. Apa aku telpon saja ya. Tapi gengsi ah. Masa mau kabur dari rumah pake bilang-bilang, kan gak seru.

Malam ini aku harus kemana?, aku tak punya tempat mengadu lagi. Gimana dengan teman-teman. Hhmmm.. mereka sudah bosan dengan cerita aku yang ini ini aja. Yang ada, aku cerita mereka malah tertidur pulas.

Haduhh laper, dari sore aku belum makan. Padahal kalau di rumah kerjaan aku makan, makan dan makan. Aku ingin makan makanan yang panas panas malam ini. Tapi apa ya? Makan sop, bakso, soto atau apa ya yang enak. Hmmmm.. soal makan aja aku bingung.

Tunggu-tunggu ada yang memancing perhatian mataku. Siapa?, seseorang dengan jarak sepuluh meter dariku di dekat tong sampah. Anak gadis kecil yang polos, lusuh dan lugu kulihat tampak mencari-cari sesuatu di antara tumpukan sampah. Apa yang ia cari?. Apakah dia kehilangan sesuatu di sana. Dimana orang tuanya?. Kenapa orang tuanya membiarkan anak itu seorang diri?. Nasib anak itu hampir sama denganku, tidak dipedulikan orang tuanya. Kalau begitu aku harus membantu dia. Tapi tong sampah Ulfa. Ya kan niatnya membantu kenapa harus takut sampah?.

Akupun menghampiri bocah kecil itu. Dengan langkah pelan, aku pastikan anak kecil itu tak terusik dengan kehadiranku.
                “De, lagi apa?”. Tanyaku dengan lemah lembut.

Anak kecil itu diam saja, dia terus saja memilah-milah isi tong sampah yang ada di depannya.
                “Kamu lagi cara apa, bisa kakak bantu”. Sahutku lagi sambil memperjelas maksudku.

Kalimat ke dua aku juga tak ditanggapi anak itu. Kenapa sih aku gak pernah ditanggapin semua orang. Jadi pengen nangis deh.

Beberapa saat kemudian anak kecil perempuan itu menemukan apa yang ia cari. Sebungkus nasi bekas orang, lalu terlintas tanya dalam diriku. Untuk apa?. Aku bengong dan bingung. Anak kecil itu lalu membawa bungkusan tadi. Akupun mengikutinya. Sesampai ditempat yang sepi dia membuka bungkusan nasi itu dan...

Ya Allah.. dia memakan nasi yang dia ambil dari tong sampah itu. Nasi kotor yang orang buang dia makan dengan lahap. Seketika air mataku tumpah ruah. Iba aku melihatnya. Sepahit itukah hidup ini.

Aku menghampirinya. Ku jongkokkan badanku agar setara dengannya. Ku ambil bungkusan nasi itu dan kuikat dengan karet lalu kulempar jauh. Gadis kecil itu menatapku penuh benci. Aku seperti orang jahat yang telah merenggut anugrah dan kenikmatan dari hadapannya. Perlahan dia meneteskan airmata. Kontan saja kuambil sapu tangan dari dalam tasku dan kusapu air matanya. Kuraih tangannya dan ku ajak dia berdiri.
                “De, kakak juga lapar. Ayo kita cari makan sama-sama”.

Aku membawa gadis kecil itu ke sebuah warung tenda yang banyak berjajar di tepi jalan.
“Kamu mau pesan apa?”. Tanyaku lembut.

Anak kecil itu diam, dia seperti tak bisa berkomunikasi. Akhirnya aku pesankan ia nasi putih dengan ayam bakar sebanyak dua porsi. Akupun makan dengan menu yang sama. Anak itu makan dengan lahap. Sepertinya dia sudah berhari-hari tak bertemu makanan.

Usai makan, aku memesan kembali makanan, tapi kali ini dibungkus untuk bekal gadis kecil itu.
                “De, rumahmu dimana?. Biar nanti kakak antar pulang.”
Gadis kecil itu kembali tak menjawab.

                “Orang tua mu?”.

Gadis kecil itu menggelengkan kepala. Seperti isyarat bahwa ia tak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini. Ya Allah anak sekecil ini harus berlalu lalang sendiri. Seketika itu aku jadi teringat rumah. Teringat mama, teringat papa, sedang apa mereka. Akupun kembali menumpahkan airmata. Sampai aku tersadar tangan kecil gadis itu menengadah di depanku. Lalu aku mengambil uang di tasku dan memberikannya pada gadis kecil itu.

Anak kecil itu menggelengkan kepala saat ku tawarkan sehelai uang, ia lalu meraih dan mencium tanganku. Rupanya ia ingin berpamitan dan berterimakasih kepadaku. Kemudian kukepalkan uang yang kuambil tadi pada genggaman tangannya. Gadis kecil itu perlahan beranjak dari hadapanku. Sambil sesekali menengok ke arahku seperti ia tak tega meninggalkan aku yang pedih sendiri.

Ya Allah betapa berdosanya aku, betapa aku tidak mensyukuri nikmatmu. Lihat anak kecil itu. Tak berumah. Tak berorang tua. Kasihan sekali kan!. Sedang aku, aku yang cukup hidupnya, aku yang memiliki orang tua, kenapa tidak bersyukur.

Aku harus pulang, aku aku tidak boleh menyulitkan dan membebani orang tuaku. Kasihan mereka. Perjalanan selanjutnya membawa langkahku ke istana cinta tempat aku dilahirkan. Bodoh... bodohh... apa yang aku pikirklan selama ini adalah sebuah kebodohan.

                                                                                                           ***
Suasana rumahku kosong, pada kemana mereka,  oh mungkin mereka belum pulang kerja, kasihan sekali mereka harus bekerja hingga larut malam untuk memenuhi semua kebutuhanku. Aku langsung kekamar mencuci muka, tangan, kaki, shalat dan merebahkankan badanku di atas kasur.  kugelapkan kamarku agar mama dan papa tidak perlu menengok kekamarku.

Lalu suara mobil terdengar memarkir dihalaman rumah. Alhamdulillah papa dan mama pulang aku tak berharap mereka kekamarku sungguh aku ingin mereka kekamarnya saja dan beristirahat. Tpi tiba-tiba.. aku merasakan kehadiran mereka di kamarku.
                “Pa.. anak kita sudah besar ya?”.
                “Iya Ma, cantik lagi sama seperti mama dulu”.
                “Oya Pa, sudah lama ya kita tidak meluangkan waktu khusus untuk Ulfa”.
                “Mama benar, bagagaimana kalau akhir pekan ini kita jalan-jalan saja, pasti Ulfa senang”.
                “Ya sudah Mama setuju, kalau begitu kita ke kamar yuk Pa, kasihan Ulfa kalau istirahatnya kita ganggu”.

Lalu aku merasakan selimut melayang menghampiri badanku. Ya mama menyelimutiku dengan kasih sayang. Sungguh aku benar-benar beruntung memiliki papa dan mama seperti mereka. Ternyata benar setiap orang mengungkapkan kasih sayangnya dengan berbagai cara. Papa dan Mama memilih untuk memenuhi semua kebutuhan hidupku sebagai cara mereka menyayangiku. Walau untuk itu mereka harus merelakan waktunya bersamaku dengan bekerja keras siang dan malam. Walau untuk itu mereka harus rela aku tuduh kurang menyayangiku. Tapi sekarang aku lebih mengenal papa dan mama dan aku yakin mereka sangat menyayangiku. Itu yang penting.

Share this

0 Comment to "Kasih Sayang Buat Ulfa.."

Post a Comment